Bedebah;
Retorika Rakyat yang Terlupakan
Oleh;
Rina Zeniwati Br. Ginting
Negeri
Para Bedebah
Adhie Massardi
Ada satu negeri
yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah
dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan
daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung
kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu
ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri
yang para pemimpinnya hidup mewah
Atau jadi kuli
di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para
bedebah
Orang baik dan
bersih dianggap salah
Dipenjarakan
hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat
dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya
penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya
hanya bisa pasrah
Maka bila
negerimu dikuasai para bedebah
Jangan
tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak
akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila
negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka
dengan revolusi
Bila tak mampu
dengan revolusi
Dengan
demonstrasi. Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah
selemah-lemahnya iman perjuangan
Agaknya benarlah jika
puisi dikatakan sebagai salah satu media yang paling ampuh untuk melukiskan
perasaan, baik itu sedih, kecewa, marah, senang, gelisah, sepi, tenang, cinta,
dan sebagainya. Bagaimana tidak? Puisi yang terkadang juga diartikan sebagai
suara hati ini dianggap telah mampu mewakili jutaan rasa penulisnya. Hal inilah
yang menjadikan puisi itu terkesan lebih unik dari karya sastra lainnya. Tak hanya
itu, bentuk puisi yang ringkas turut pula menambah keelokan puisi tersebut,
selain gaya bahasanya yang khas. Melalui puisi, setiap orang juga bebas
mengapresiasikan dirinya terhadap hal-hal apa saja yang menarik perhatiannya,
tanpa perlu mendapat koreksi benar atau tidak.
Lebih-kurang dari pernyataan di atas, mungkin itu jugalah yang telah
dilakukan Adhie Massardi dalam puisinya yang berjudul Negeri Para Bedebah.
Teeuw (dalam Pradopo,
2007: 106) mengatakan bahwa karya sastra adalah artefak, yaitu benda mati yang
baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh pembaca
sebagaimana artefak diberi makna oleh arkeolog. Ini menerangkan bahwa seorang
penyair harus memberi makna pada puisinya baik itu secara tersirat maupun
tersurat. Tujuan daripada diberikannya makna tersebut adalah agar puisi itu
tidak menjadi benda mati, akan tetapi sesuatu yang dapat hidup di pikiran
pembacanya.
Bedebah, kata ini bisa
saja dipilih Adhie untuk mewakili kemarahannya pada persoalan-persoalan bangsa
yang tak kunjung selesai atau mungkin saja sebagai sebutan akrab Adhie pada
mereka yang tak tau diri, yang terus-menerus membuali bangsanya. Meskipun
terkesan biasa, setidaknya bedebah memiliki makna yang tajam, yaitu
merujuk pada orang-orang yang sangat hina dan tak bermatabat. Barangkali Adhie
berharap pilihan bedebah itu dapat menyadarkan mereka-mereka yang merasa dirinya
sedang diperbincangkan. Kemudian jika kita melihat judul puisi Negeri
Para Bedebah, setidaknya kita harus menyadari bahwa Bedebah
sebenarnya digunakan Adhie sebagai kata kunci untuk menggambarkan makna
puisinya secara keseluruhan.
Disamping makna yang
tajam, Adhie juga telah menambahkan keindahan pada puisinya tersebut, yaitu
dengan menjaga rima pada bait-bait puisinya dan hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan Slametmuljana (dalam Waluyo, 1991: 23) “Puisi merupakan bentuk
kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya.
Pengulangan itu menghasilkan rima, ritme, dan musikalitas.” Perhatikanlah satu
bait puisi Negeri Para Bedebah berikut!
Tahukah kamu
ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri
yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya
makan dari mengais sampah
Atau
jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Kemudian Adhie juga
menyoroti kehidupan pejabat yang sepertinya besar pasak daripada tiang namun
tetap dapat hidup berkecukupan. Sebuah pertanyaan yang mengganjal hati,
bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup
mewah. Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah. Setidaknya dua baris
puisi di atas cukup menjawab pertanyaan tersebut. Pejabat yang dipilih dan
digaji oleh rakyat untuk memperjuangkan hak rakyat justru duduk santai sambil
beropsi untuk memperkaya diri dengan memelaratkan bangsanya. Mereka asyik
membangun istananya sementara di luar sana rakyatnya makan dari menengadahkan
tangan.
Tak hanya itu, Adhie
juga berkomentar pada kebijakan pemerintah yang lemah dalam melindungi hak
asasi para tenaga kerja kita yang berada di negara-negara kawan. Ungkapan Adhie
yang menyatakan tenaga dibayar dengan caci-maki, hinaan, bahkan pukulan cukup
untuk menjadi potret ketidakpedulian pemerintah. Dapat kita lihat pada baris
berikut Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah.
Penggelapan pajak,
mafia hukum, bentrokan, kekerasan, dan banyak lainnya sepertinya telah
memuakkan seorang Adhie untuk terus diam, menonton jalannya film yang dimainkan
oleh orang-orang terhormat berdasi. Butuh keberanian tentunya bagi seorang
Adhie untuk memberontak dari kediamannya dan mengatakan karena hanya penguasa yang boleh
marah, sedang rakyatnya hanya bisa pasrah.
Dalam hal ini, Clive
Sansom juga memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang
ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan
emosi. Setidaknya dua baris puisi di atas tentunya cukup untuk menggambarkan
emosi Adhie pada kesemerawutan bangsa ini, juga terhadap pemerintah yang lebih
mengutamakan kepentingan pribadi daripada rakyatnya.
Dari segala curhatannya tersebut, Adhie menyelipkan
lagi sebuah pernyataan yang dapat membuka mata kita semua bahwa tidak ada cara
yang paling efektif untuk memperbaiki keadaan ini selain semuanya kembali lagi
pada didikan moral dan akhlak kita sebagai manusia. Bila tak mampu dengan revolusi, dengan
demonstrasi. Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi. Tapi itulah
selemah-lemahnya iman perjuangan.
Menurut Wellek dan
Warren (1995: 3) “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, yaitu sebuah karya
seni.” Kemudian Wellek dan Warren juga
menyatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan, dimana penciptaan puisi itu
terinspirasi dari masyarakat dan akan menginspirasi masyarakat juga.
Seperti apa yang
dikatakan Wellek dan Warren di atas, puisi Negeri Para Bedebah setidaknya dapat
menginspirasi masyarakat untuk memperbaiki dan peduli terhadap kondisi bangsa
kita sekarang ini.
Penulis
merupakan siswi SMA Negeri 2 Kota Binjai, XII IPA-1 2012
0 komentar:
Posting Komentar