Kartini dan Wanita
Karir
Kartini tiada sama
sekali melarang perempuan kawin, malahan hal itu dipandangnya pelabuhan yang
paling banyak memberi bahagia kepadanya. Jadi belajar vak itu cuma perlu supaya
jangan dapat dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukainya, dan juga supaya
jangan merasa wajib takluk kepada suaminya.
(Sifat Cita-cita Kartini oleh Armijn Pane)
Banyak orang yang
menganggap emansipasi Kartini belum selesai, masih banyak yang harus terus
diperjuangkan. Tapi banyak pula yang menganggap emansipasi Kartini sudah cukup.
Wanita sekarang sudah sejajar hak dan kedudukannya dengan pria. Tidak ada lagi
perlakuan yang mengistimewakan pria dari wanita. Tentu kita semua menyadari
bahwa cita-cita Kartini sudah tercapai sekarang. Kini, wanita sudah dihargai
keberadaannya dan dapat berkembang. Tidak lagi kaku dan kolot akan adat lama
dimana wanita selalu berada di bawah pria. Namun sepertinya wanita sekarang
masih belum merasa cukup akan semua itu. Tampaknya mereka tidak hanya
menginginkan kesamaan derajat dengan pria melainkan ingin dianggap lebih. Hal ini
terlihat dari banyaknya wanita karir yang sudah melupakan kodratnya sebagai
seorang wanita, anak, istri, dan ibu.
Wanita karir, sebutan
bagi wanita yang bekerja di luar rumah dengan status sukses. Mereka merasa
bangga dan sangat terhormat dengan sebutan ini. Menjadi seorang wanita karir
ialah idaman setiap wanita. Tak heran bila banyak mereka yang akan menjawab
kelak aku akan menjadi wanita karir yang sangat sukses jika ditanya
cita-citanya.
Wanita karir ialah
wanita pekerja yang tidak akan pernah puas akan kesuksesan yang telah diraih.
Mereka terus giat bekerja untuk meraih segala impiannya. Ketika suatu impian
telah tercapai maka mereka tidak akan berlama-lama berdiam diri. Mereka akan
mulai membangun mimpi-mimpi mereka yang baru lalu berusaha untuk mewujudkannya.
Tuntutan zaman maju tampak menjadi pacuan mereka bekerja keras. Mereka berusaha
untuk memfokuskan dirinya pada suatu tujuan. Akibatnya mereka mulai kehilangan
sisi kewanitaannya. Mulai melupakan impiannya untuk membentuk sebuah keluarga. Mereka
tidak ingin terikat, tidak ingin tertekan, dan mereka tidak menginginkan
karirnya hancur begitu saja karena harus menurut kepada suami kelak menikah
nanti. Mereka beranggapan jika sudah sukses dan sudah memiliki semua yang
mereka inginkan maka menikah tidak berguna lagi. Menikah hanya akan membuat
diri mereka menderita.
Karena kesibukannya,
seorang wanita karir telah melupakan dirinya sebagai anak. Tidak ada lagi waktu
baginya berkunjung untuk sekedar melihat keadaan orang tuanya. Bahkan lebih
parahnya lagi, orangtuanya dikirim ke pantai jompo agar pekerjaannya tidak
terganggu. Jika tidak demikian, mereka memanggil jasa seorang pembantu atau suster
yang akan menemani orangtuanya di rumah dan mengurus segala keperluannya.
Dengan begitu mereka merasa dapat lebih fokus pada pekerjaannya tanpa harus
mengurus orangtuanya lagi.
Sebagai seorang istri,
wanita karir bukanlah istri yang baik untuk suaminya. Mereka tidak mampu menjalankan
tugasnya dengan baik. Untuk sekedar membuat sarapan atau menyiapkan keperluan suaminya
di pagi hari saja mereka tidak mampu, konon lagi harus mengurus rumah
tangganya. Semua pekerjaan itu mereka tugaskan pada pembantu. Akibatnya banyak
wanita karir yang tidak mampu mempertahankan rumah tangganya. Mereka terlalu
disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah sehingga perhatian untuk rumah
tangganya sangat kurang.
Jika pasangan mereka
berpenghasilan lebih rendah dari mereka maka wanita karir cenderung
memperlakukan pasangannya dengan semena-mena. Tidak ada lagi rasa hormat pada
suami. Secara tidak langsung mereka mulai mengambil alih tanggung jawab sebagai
kepala keluarga. Karena berpenghasilan lebih, mereka menuntut untuk tidak lagi
mengurus rumah tangganya. Mereka juga cendrung bersifat angkuh, tidak mau
peduli, egois, dan suka mengatur. Berbeda dengan wanita karir yang memiliki
pasangan yang sukses juga. Mereka akan mengalah dan mau menurut pada suami
selama itu tidak mengganggu pekerjaannya tapi tetap saja mereka bukanlah istri
yang baik.
Selain itu, tugas
mereka sebagai seorang ibu mulai terlupakan. Ada sebagian wanita karir yang
setelah menikah tidak ingin memiliki anak. Ada pula yang menginginkan anak
namun tidak ingin mengandungnya. Mereka menggunakan jasa ibu sewa yang akan
mengandung dan melahirkan anak mereka. Setelah anak tersebut lahir, mereka akan
memanggil pengasuh bayi untuk mengurusnya. Ketika si anak menginjak remaja
mereka mengirimkannya untuk bersekolah di asrama. Selama itu pula, mereka tidak
pernah meluangkan sedikit waktu untuk anaknya, untuk sekedar memperhatikan
pertumbuhannya pun tidak. Mereka beranggapan, dengan bekerja dan mengumpulkan
uang sebanyak-banyaknya maka itu akan membuat si anak bahagia. Akibatnya, si
anak mendapatkan kasih sayang yang kurang. Mereka besar dan tumbuh oleh asuhan
pembantu, termasuk memberi asi. Itu sebabnya banyak wanita karir yang sukses
namun gagal sebagai ibu bagi anaknya.
Agaknya jelaslah bagi
kita semua bahwa kartini dan wanita karir sangatlah berbeda. Kartini
menginginkan wanita itu maju dan berpendidikan agar lebih cakap untuk mengurus
rumah tangganya dan mendidik anaknya. Itulah tujuan emansipasinya. Wanita karir
itu jelas sudah melanggar nilai-nilai murni emansipasi Kartini. Untuk apa
emansipasi jika pada akhirnya wanita-wanita itu melupakan kodratnya sebagai
seorang wanita, anak, istri, dan ibu.
Meskipun wanita itu
maju dan berpendidikan tinggi, mereka adalah tetap wanita yang secara kodratis
memang di bawah lelaki tapi bukan berarti dapat diperlakukan semena-mena.
Menjadi wanita karir bukanlah suatu larangan bagi kaum wanita tapi tetap saja
harus mengingat batasan-batasan tertentu. Mereka tetap harus mengingat kodrat
mereka sebagai seorang wanita dan harus menjalankan fungsinya sebagai seorang
anak, istri, dan ibu. Memberatkan memang, selain bekerja di luar mereka juga
harus bekerja mengurus rumah tangganya dengan baik. Tapi itulah konsekuensi
yang harus mereka tanggung sebagai wanita karir. Jika ini bisa diciptakan, maka
wanita sekarang dapat menjadi wanita maju dan berpendidikan yang kelak akan
membentuk penerus bangsanya. Mereka pasti sadar akan tugas dan tanggung
jawabnya. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi menuntut emansipasi melainkan
dapat menghargai emansipasi tersebut.
Binjai, 19 Oktober 2011
0 komentar:
Posting Komentar