Ayunan Kaki-Kaki Kecil


“Sandal Paris, sandal Paris! Cuma lima belas ribu, beli dua pasang tiga puluh ribu, sandal Paris! Yang mau yang enggak kemari, sandal Paris!” Teriak si penjual sandal. Suaranya terdengar semakin kuat mengimbangi suara penjual sebelahnya.
“Mangga manis, mangga manis! Lima ribu lima ratus rupiah saja untuk mangga manis. Dijamin manis dan yang beli pun manis. Mari-kemari, mangga manis!” Timpal yang lain.
“Tomat-tomat, tomat murah... tomat murah!” Tambah yang lainnya lagi.
“Kaos Justin Bieber, cuma dua puluh lima ribu. Pilih-dipilih, kaos Justin. Jangan sampai ketinggalan!” Sambung yang sebelahnya.
Riuh dan sumpek, begitulah khas pasar Tavip Binjai. Para pedagang saling berlomba mempromosikan dagangannya. Ada-ada saja cara mereka untuk menarik pembeli. Mulai dengan kata-kata obral yang dilontarkan, penawaran-penawaran gila sampai menjemputi pembeli untuk melihat barang dagangannya. Jika pembeli masih enggan melihat, mereka akan terus memaksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu. Karenanya, tak sedikit juga pembeli yang habis kesabaran lalu marah-marah. Kalau sudah begitu, si penjual pergi lalu mengumpat kesal dalam hatinya.
Aku telah selesai belanja ketika sampai di pintu luar pasar Tavip. Sebelum pulang, kuingat-ingat dulu semua barang yang kuperlukan, sudah dibeli semua atau belum. Barangkali masih ada yang tertinggal, pikirku. Ternyata benar, aku lupa membeli handuk lap dapur yang sudah robek itu. Ahhh... Malas sekali rasanya kalau harus melangkahkan kaki ke dalam pasar itu lagi. Akhirnya kuputuskan untuk membelinya di emperan toko depan. Kualitasnya pasti lebih baik, kalau harga bisa bersaing, bisikku dalam hati.
“Medan-Medan. Medan dek, Medan.” Teriak si supir angkot. Aku menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.

“Kuala-kuala” Jumbo kuning itu melintasiku. Aku masih menunggu angkot belakang melintas ketika hendak menyebrang jalan.
“Stabat-Stabat” Bujuk si supir.
“Enggak bang!” Kali ini aku menjawab, tapi sepertinya ia tidak peduli dengan kataku. Ia masih berteriak ‘Stabat-Stabat’ dan melihat ke arahku. Kelihatannya ia memaksaku untuk naik. Yang benar saja, aku ingin menyebrang, bukan menunggu angkot. Lagian kalau ya, aku pasti tidak akan naik angkotmu. Rumahku ke arah Medan bukan Stabat, batinku kesal. Aku menunggu beberapa detik namun rasanya jumbo kuning itu belum melintasiku juga. Dengan terpaksa aku berjalan ke samping melewati bagian belakang angkot itu lalu menyebrang di sela jalan yang kosong.
Seperti inilah pasar Tavip. Tak hanya pedagang saja yang riuh dengan promosi barang dagangannya, tapi supir-supir angkot yang melintasi pasar Tavip juga. Hal tersebut menambah keriuhan pasar. Jika pasarnya dipadati pengunjung maka jalanannya pun dipadati oleh belasan angkot, belum lagi becak dan kendaraan pribadi lainnya. Sempitnya jalanan tentu tidak memungkinkan beberapa kendaraan parkir, tapi kenyataannya itulah yang terjadi sehingga jalanan menjadi macat. Dulu sekali, aku pernah muntah ketika angkot yang aku naiki terjebak macat. Bagaimana tidak? Siapa sih yang tahan dengan udara panas yang pengap dan penuh asap kendaraan, kondisi jalanan yang sumpek, dan bau busuk sayuran yang menyengat yang menyapa tubuh?
Sambil menenteng belanjaan, aku mencari toko kain yang tepat untuk kusinggahi, dan aku menemukannya. Kubaca pamflet nama toko yang dipajang di dinding pintu masuk bagian atas, ‘Toko Kain Jadi Ada’ dan akupun memasukinya. Kuletakkan belanjaanku di sudut toko dan mulai memburu handuk lap yang aku butuhkan, untuk itu aku dibantu oleh seorang penjaga tokonya.
Ketika hendak menjatuhkan pilihan, aku terusik oleh seorang bocah yang menyentuh tanganku. Aku berpaling, iapun mulai menunjukan sikap memelas. Dengan menengadahkan tangannya, ia meminta belas kasihanku. Aku tersentuh, segera kuambil dompetku dan mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribuan. Aku hendak memberinya, tampak olehku ia telah sigap untuk menerima uang tersebut, tapi sayang sekali, penjaga toko membentak marah bocah itu dan mengusirnya keluar. Barangkali ia tidak ingin pengunjung tokonya merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu.
“Jangan dikasih Mbak, nanti kebiasaan,” Ujarnya dengan sopan.
“Ohh... tidak apa, hanya sesekali saja,” Jawabku lembut. Aku segera menangkap kekesalan pada wajah penjaga toko itu meskipun ia berusaha untuk menutupinya.
“Masih sekolah?” Tanyaku pada bocah itu, ia mengangguk perlahan. Mungkin ia enggan bicara karena merasa takut pada penjaga toko. Aku tersenyum padanya ketika memberi uang.
“Ini, ambillah. Jangan malas sekolah agar kelak kau tidak meminta lagi seperti sekarang!’ Ucapku.
“Terimakasih banyak kak, murah rejeki,” Setelah mengucapkannya, ia bergegas pergi ke luar toko. Kini, aku tidak menemukan sosoknya lagi.
Begitu menemukan handuk lap yang cocok, aku langsung membayarnya dan bergegas pulang. Badanku terasa demikian letih, rasa gerah mulai menghampiri. Aku berjalan menyusuri emperan toko menuju simpang jalan ketiga depan untuk naik angkot. Ya, aku berada di emperen toko jalan Jend. Sudirman yang merupakan jalanan utama pusat kota Binjai, jadi tidak ada angkot yang diperbolehkan melintasi jalan tersebut mulai dari simpang pajak sampai simpang jalan ketiga depan. Jalanan ini sangat ramai, mungkin hal itu dilakukan untuk mengurangi kemacatan.
Belanjaanku jatuh, aku menunduk mengambilnya. Ketika hendak berdiri, aku melihat seorang bocah telah berada di depanku. Sama seperti sebelumnya, ia tidak berkata apa-apa, hanya diam saja. Aku bisa membaca tingkahnya. Kali ini, aku harus menolak, pikirku.
“Maaf, minta izin ya dek,” Kataku. Aku memutar badan dan bergegas pergi, namun bocah tadi kembali mengusikku. Ia berusaha berjalan sejajar denganku, tapi masih saja diam. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Kami masih berjalan sejajar hingga aku berkata sekali lagi padanya.
“Maaf banget dek, saya tidak punya uang lagi.” Ujarku berbohong.
Kukira ia akan pergi, namun aku keliru. Dia belum beranjak juga dari sampingku. Aku masih berjalan dan bersikap cuek padanya hingga akhirnya ia bicara.
“Kak, minta sedekahnya. Lapar kak, belum makan.” Ia mendahuluiku dan berhenti tepat di depanku sekarang.
“Kak, tolong kak, sedekahnya. Saya belum makan,” Ulangnya sekali lagi.
Dengan menarik napas aku berpikir sejenak, ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mengeluarkan uang pecahan lima ribu dan memberikannya. Kali ini ekspresiku datar saja.
“Terimakasih kak!” Ia pergi begitu saja tanpa menoleh padaku. Aku bergumam, dasar anak bandel!
Aku berjalan menenteng belanjaanku. Cukup melelahkan memang kalau harus melakukannya seorang diri. Kulap keringat yang mengucur di keningku, aku sangat capek sekarang. Hanya buang waktu kalau harus berhenti dulu padahal simpang jalannya sekitar dua puluh meter lagi, tapi sepertinya aku sudah nggak sanggup lagi. Kini, kakiku lemah untuk berjalan. Kulihat ada warung duduk kecil, aku berhenti minum di situ saja dulu, pikirku.
Seruput... ah segarnya! Tiba-tiba mataku menangkap sosok kedua bocah peminta tadi sedang berbicara dengan seorang pria hitam yang berbadan besar dan penuh tato. Si pria bertato tampak marah pada keduanya. Aku melihat dengan kasar ia mengambil uang dari tangan mereka lalu melemparkan bungkusan hitam kecil. Setelahnya, ia bergegas pergi. Kedua bocah tadi langsung tersungkur ke tanah dan mengambil bungkusan itu. Mereka membukanya, dua bungkus roti dan dua gelas air mineral. Dengan segera mereka langsung melahapnya habis dan tak bersisa. Aku menelan ludah melihatnya. Sepertinya, mereka sudah tak makan selama setahun lebih.
Aku bangkit dari bangkuku, rasanya kaki ini sudah cukup kuat untuk berjalan sekarang. Sebelum pergi, aku menoleh lagi pada kedua bocah itu. Kulihat mereka, Ya Tuhan! Mereka ngelem, ya ngelem. Masih sekecil itu ia ngelem? Aku benar-benar terkejut. Jadi, uang yang mereka kumpulkan dari meminta-minta bukan untuk sekolah atapun membeli makanan, tapi untuk ngelem. Pantasan saja mereka terlihat kurus kering seperti lidi. Aku dibohongi, aku nggak bisa terima itu. Mereka memanfaatkan kebaikanku. Penjaga toko tadi benar, peminta seperti mereka tidak perlu dikasihani.
Dengan emosi aku menuju ke arah kedua bocah itu. Mereka tampak terkejut oleh kehadiranku. Wajahku merah padam, keringat mulai mengucur, dadaku sesak menahan luapan emosi ini. Melihatku, mereka diam dan menunduk. Ada sedikit perasaan takut yang menghampiriku.
“Kurang ajar! Kau bohongi aku ya! Kau bilang lapar, rupanya ini yang kau lakukan!” Bentakku.
“Mau jadi apalah kalian ini?” Tambahku marah.
Mereka diam saja. Kulihat mereka sangat ketakutan, marahku sedikit mereda. Ahh... sudahlah, mengapa pula aku harus mencampurinya? Terserah mereka mau bagaimana, yang penting sekarang aku tahu, tidak ada gunanya lagi mengasihani peminta-minta.
Aku membalikkan tubuh, berniat meninggalkan mereka. Belum sempurna betul posisi tubuhku tiba-tiba, Ups, aghhh! Pukulan dan dorongan keras seseorang kurasakan. Aku terjatuh, ahhh... sakitnya! Aku meringis, pundakku agak kaku untuk digerakkan, dan lutut kananku pun berdarah. Aku dipukul, Ya Tuhan! Dompetku hilang.
Aku segera bangkit berdiri dengan lutut kanan yang berdarah. Belanjaanku pun berserakan. Kulihat kedua bocah itu sudah tidak ada. Pasti mereka telah bersekongkol untuk mencurinya. Aku berlari ke jalanan dan berteriak minta tolong. Dengan segera orang banyak menghampiriku. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Saya baru dirampok, dompet saya hilang! Tolong saya, tolong!” Aku berkata histeris. Kulihat kedua bocah itu berlari mengejar pria hitam besar tadi. Ada apa sebenarnya? Mengapa mereka mengejar, bukankah seharusnya mereka bertiga berlari bersama? Aku bertanya-tanya dalam hati.
“Itu mereka, itu yang merampok saya. Ayo kejar mereka, ayo!” Akupun berteriak pada orang banyak itu. Tanpa dikomandoi, kamipun langsung berlari mengejarnya. 
Beramai-ramai kami berlari mengejar mereka. Dengan rasa perih di lutut, aku berlari antara sadar dan tidak. Aku tidak tahu dimana sekarang kami berada. Tatapanku kosong ke depan, jalanan ini agak sepi oleh kendaraan. Sepertinya aku mulai mengenal tempat ini. Ini jalanan belakang toko, ya... aku ingat tempat ini! Kami masih berlari, sesekali aku teriak Hei, berhenti kau!
Langkahku terhenti tatkala kulihat kedua bocah itu terjatuh. Mereka menarik lengan pria itu dan memukulinya, tapi sayang sekali, mereka tak cukup kuat. Mudah saja bagi pria itu menyingkirkannya. Ia mendorong kedua bocah itu hingga  terjatuh lalu menendang keras tubuh mereka. Keduanya meringis kesakitan, tapi tak ada satupun yang menangis. Dengan sebisanya mereka mencoba bangkit, namun satu diantaranya jatuh. Ia tak mampu lagi untuk berdiri, sementara pria itu sudah semakin jauh. Sepertinya dia akan memenangkan pertandingan lari ini, dan aku harus merelakan dompetku.
“Kau disini saja, aku akan mengejarnya. Tunggu sini,” Bocah tadi berkata sementara temannya tidak menjawab apapun. Temannya itu hanya menunduk lemah memegangi kakinya yang sakit. Aku berlari mendapati bocah yang terjatuh tadi, sementara yang lain terus berlari mengejar pria itu.
“Saya baik, kaki saya nggak apa-apa kok. Ini sudah biasa,” Ia berkata pelan dan mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Air matanya menetes.
Aku diam dan tak mengatakan apapun. Aku berlari terus meninggalkan bocah itu sendirian. Kini aku semakin ketakutan. Bukan dompet itu yang kutakuti hilang atau apapun, tapi aku takut terjadi sesuatu pada bocah itu.
“Heh... berhenti kau. Berhenti!” Dengan serentak kami berteriak kasar padanya. Aku tidak melihat bocah yang mengejarnya tadi. Rupanya ia terjatuh di aspal samping kiri depan, tangannya berdarah. Ia masih mencoba untuk bangkit.
Rasa-rasanya aku bakalan menjadi pemenang. Kulihat jalanan depan sangat ramai. Tidak ada pilihan lain untuk kabur dari kejaran selain menyebrang, sementara jalanan sedang padat lalulintas. Pria tadi masih belum menyerah juga, ia berusaha untuk menyebrang dan tentu saja itu tidak akan pernah berhasil.
Kami semua berlari semakin dekat ke arahnya. Itu membuatnya ketakutan, ia takut diamuk massa. Ia bergegas menyebrang jalan dengan tak karuan, pikirannya tidak tenang. Tatapannya masih ke arah kami tapi tubuhnya terus berjalan menyebrang. Ia tidak peduli lagi dengan kendaraan-kendaraan yang melaju cepat. Banyak orang yang mengumpatnya dan berteriak kasar.
 “Kau mau mati. Minggir, di rel kereta lebih cepat!” Teriak pengemudi motor.
“Woyyy... dasar orang gila!” Ujar pengendara becak.
Ia diam dan masih terus menyebrang. Kali ini maut hendak menjemputnya. Ia pasti dibawa ke neraka jahanam. Tampak sebuah mobil menyusup cepat dari belakang dan pria tadi tidak melihatnya, begitu juga dengan si pengemudi. Kami semua berhenti dan berteriak, “Awas, ada mobil kencang ke arahmu!”
Pria tadi melihat ke arah mobil yang hendak menabraknya. Kelihatannya si pengemudi mobil sedang berusaha untuk menginjak rem, tapi sepertinya hal itu tidak  akan bisa dihindari lagi. Jaraknya begitu dekat, kini pria dan pengemudi mobil sama-sama pasrah dengan apa yang akan terjadi. Entah mengapa, semuanya terasa hening saat ini.
“Bapakkkk... awas pak!” Tiba-tiba saja bocah di sampingku itu berteriak dan berlari ke depan mendahului kami. Suaranya melengking, mengusik ketenangan yang sejenak tadi. Ia berlari mendekati pria itu. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat. Ini seperti mimpi saja. Mendengar suara bocah tadi, pria itu berpaling dan melihat ke arahnya. Ia meneteskan air mata penyesalannya. Aku bingung dengan semuanya. Apakah mereka bapak-anak? Jika ya, mengapa pria itu membiarkan anaknya ngelem? Mengapa pula ia mendorong dan menendang kedua bocah itu? Ada apa sebenarnya? Pikiranku benar-benar kacau saat ini, kepalaku mulai pusing.
Aku tersadar oleh suara orang banyak di sebelahku, mereka berteriak jangan. Apa maksudnya? Kulihat bocah tadi mendorong pria itu ke trotoar jalan. Ia membiarkan dirinya tertabrak. Aku tidak sanggup melihat semuanya itu. Tubuhku benar-benar ringan sekarang, pandanganku gelap, dan kepalaku berputar-putar, rasanya berat sekali. Aku jatuh terkulai di aspal. Ketika aku membuka mata, samar-samar kulihat bocah itu naik ke langit. Ia menoleh padaku dan tersenyum. Tiada sedikitpun aura kesedihan di wajahnya. Aku menatapnya heran, sayup-sayup kudengar, “Wanita ini pingsan! Cepat tolong dia,” Aku menoleh ke jalanan tadi, darah telah mengusap aspalnya.

Binjai, 3 Nopember 2011