Menghadirkan Altruisme dan Berhadapan dengan Agresi dan Rasa Takut


Dalam perkembangan psikososial pada masa kanak-kanak awal, orangtua harus memberikan perhatian lebih kepada anak mereka. Perhatian yang lebih itu dapat diberikan dengan mengarahkan anak untuk memiliki perilaku altruisme, melawan agresi, dan menghadapi rasa takut. Dengan memiliki ketiga kemampuan ini, anak diharapkan dapat mengembangkan dirinya dengan baik, khususnya aspek perkembangan psikososialnya.

Perilaku Prososial
Papalia, Old, dan Feldman (2008) mendefinisikan altruisme sebagai perilaku yang ditujukan untuk menolong orang lain, yang keluar dari perhatian batin dan tanpa harapan balasan eksternal; dapat mengandung penolakan diri atau pengorbanan diri.
Puja kecil sangat senang sekali membagikan bekal miliknya kepada teman-teman sekolahnya yang tidak membawa bekal. Bahkan terkadang, Puja tidak memakan bekalnya itu sedikit pun. Ketika ditanya mengapa ia seringkali membagikan bekalnya tersebut kepada teman-temannya, Puja mengatakan bahwa ia kasihan melihat teman-temannya itu tidak makan apapun saat jam istirahat. Tindakan yang dilakukan Puja ini disebut perilaku prososial, yaitu perilaku yang dilakukan secara sukarela untuk menolong orang lain. Perilaku prososial ini dilakukan tanpa mengharapkan adanya hadiah atau imbalan setimpal yang akan diterima.
Orangtua yang anak-anaknya memiliki perilaku prososial biasanya juga berperilaku prososial. Para orangtua tersebut akan mengajak anak-anak mereka secara tidak langsung untuk berperilaku prososial dengan menceritakan anak film, suatu kegiatan sosial, kisah nyata tentang berbagi dan empati serta lainnya yang tentu saja berkaitan dengan kemurahan hati dan perilaku senang membantu.

Agresi
Raffa, keponakan saya yang berusia 4 tahun seringkali menjambak rambut kakaknya yang 3 tahun lebih tua darinya ketika ia menginginkan mainan yang sedang dimainkan oleh kakaknya tersebut. Raffa akan terus menjambak rambut kakaknya meskipun kakaknya menangis kesakitan sampai kakaknya mau melepaskan mainan yang dipegangnya. Apa yang dilakukan oleh keponakan saya tersebut adalah suatu tindakan agresi instrumental, yaitu perilaku agresi yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan agresi jenis ini biasanya sangat sering dilakukan anak-anak pada usia 3 sampai 6 tahun. Tujuan anak melakukan tindakan agresi instrumental ini sangatlah bermacam-macam, tidak hanya untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya, tetapi juga penguasaan ruangan atau perhatian dari orang-orang tertentu.
Menurut penelitian, anak laki-laki biasanya lebih agresif dibandingkan dengan anak perempuan karena adanya faktor biologis yang membedakan perempuan dengan laki-laki, yaitu berupa hormon testotoren. Biasanya anak laki-laki menunjukkan keagresifan mereka melalui agresi terbuka, yaitu agresi yang diarahkan secara terbuka kepada targetnya sementara anak perempuan menunjukkan agresi relasional, yaitu agresi yang bertujuan menghancurkan atau mengacaukan hubungan, reputasi, atau ketenteraman psikologis orang lain. Agresi jenis ini sering juga disebut agresi tersembunyi, tidak langsung, atau psikologis.

Sumber Agresi
Setiap anak tentu saja memiliki keagresifan yang berbeda dengan anak lainnya. Hal itu disebabkan oleh faktor biologis setiap anak yang juga berbeda-beda. Faktor biologis tersebut dapat berupa hormon dan gen yang diwariskan orangtua kepada anak-anaknya.
Selain faktor biologi, kombinasi atmosfer rumah juga menjadi sumber anak untuk berperilaku agresif. Keadaan rumah yang penuh dengan tekanan, disiplin yang keras, serta kurangnya perhatian orangtua dapat menyebabkan anak tumbuh dengan perilaku agresif yang tinggi. Di samping itu juga, hukuman yang terlalu keras yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya seringkali menjadi hal yang berdampak buruk karena anak yang dihukum terlalu keras dapat menjadikan orangtua mereka sebagai model untuk berperilaku agresif.

Pemicu Agresi
Perilaku kekerasan yang disaksikan oleh anak-anak dapat menjadi pemicu utama anak-anak tersebut bertindak agresif. Sebagai misalnya, tayangan smack-down yang beberapa waktu lalu ditayangkan secara terbuka di televisi sehingga dapat dilihat dengan mudah oleh anak-anak menyebabkan seorang anak SD di daerah Pulau Jawa membanting tubuh temannya ke kursi. Hal itu dilakukannya setelah malam hari sebelumnya ia menyaksikan bagaimana orang-orang di atas ring smack-down saling membanting untuk membuktikan siapa yang paling kuat.
Untuk menghindari anak-anak mereka dari perilaku agresif semacam ini, para orangtua seharusnya mencontohkan perilaku yang non agresif kepada anak mereka di kehidupan sehari-hari serta selalu mengawasi tontonan-tontonan atau hal-hal yang ada di sekitar anak yang mungkin dapat menjadi pemicu anak untuk berperilaku agresif.

Pengaruh Kultur
Tampaknya budaya juga memegang andil yang besar dalam membentuk karakter dan kerpibadian anak-anak. Sebuah riset menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat keagresifan anak-anak Jepang dengan anak-anak Amerika. Anak-anak Amerika biasanya lebih agresif dibandingkan dengan anak-anak Jepang. Hal ini dikarenakan para orangtua Jepang lebih sering menggunakan penalaran dan memancing rasa bersalah dalam mengajarkan anak bagaimana seharusnya berperilaku.

Rasa Takut
Pada umumnya, rasa takut seringkali dialami oleh anak-anak usia prasekolah. Biasanya, anak-anak tersebut takut kepada binatang, tokoh-tokoh kartun yang menakutkan, kegelapan, atau hantu. Perasaan takut pada anak harus dihindari karena dapat menjadikan proses berkembangnya kemampuan psikososial anak menjadi terhambat. Anak-anak yang terkesan penakut cenderung tumbuh menjadi orang-orang yang tidak percaya diri serta selalu mengalami kegelisahan. Rasa takut pada anak-anak berasal dari pengalaman pribadi atau akibat mendengarkan pengalaman orang lain. Oleh karena itu, orangtua harus membantu anak-anak mereka untuk menghadapi rasa takut dengan membentuk rasa percaya diri dan kewaspadaan yang normal tanpa harus menjadi protektif pada diri sang anak.